Syarat Pelaksanaan Pidana Hukuman Mati

Syarat Pelaksanaan Pidana Hukuman Mati

Pidana hukuman mati selalu menjadi isu sentral yang memicu perdebatan sengit antara supremasi hukum, keadilan retributif, dan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak untuk hidup. Di Indonesia, mekanisme dan syarat pelaksanaan pidana mati telah mengalami perubahan fundamental dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang akan berlaku efektif pada tahun 2026.

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Rahmaniyah memandang perubahan ini sebagai evolusi penting dalam politik hukum pidana Indonesia. KUHP Baru mengubah status hukuman mati dari sebelumnya pidana pokok menjadi pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Perubahan ini membawa konsekuensi besar terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum eksekusi dapat dilakukan.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam tahapan dan syarat pelaksanaan pidana hukuman mati di Indonesia berdasarkan regulasi terbaru, menyoroti peran sentral Masa Percobaan sebagai safe mechanism menuju keadilan.


Landasan Hukum dan Syarat Vonis Pidana Mati (Pra-Eksekusi)

Sebelum eksekusi dapat dilaksanakan, putusan hukuman mati harus melalui serangkaian proses hukum yang ketat untuk memastikan terpenuhinya hak terpidana dan menghindari miscarriage of justice.

1. Syarat Khusus Jenis Tindak Pidana

Berdasarkan KUHP Baru (Pasal 67 dan Pasal 98), pidana mati kini ditempatkan sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat. Hukuman mati hanya diancamkan untuk kejahatan paling serius (the most serious crimes) seperti:

  • Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dengan pemberatan.
  • Pembunuhan Berencana dengan Pemberatan.
  • Terorisme.
  • Beberapa bentuk Korupsi (terutama yang berdampak luas pada negara).

2. Syarat Masa Percobaan 10 Tahun (Pasal 100 KUHP Baru)

Ini adalah inovasi paling revolusioner dalam KUHP Baru. Hakim yang menjatuhkan pidana mati wajib mencantumkan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Selama masa percobaan ini, pelaksanaan hukuman mati ditunda.

Hakim menjatuhkan masa percobaan dengan memperhatikan salah satu dari dua faktor:

  • Rasa penyesalan terdakwa dan adanya harapan untuk memperbaiki diri; atau
  • Peran terdakwa dalam Tindak Pidana (misalnya, bukan aktor utama).

Masa percobaan ini dimulai satu hari setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Syarat ini memberikan kesempatan emas bagi terpidana untuk merefleksi dan menunjukkan perubahan perilaku.

3. Syarat Upaya Hukum dan Grasi (Pasal 99 KUHP Baru)

Pelaksanaan pidana mati hanya dapat dilakukan setelah permohonan grasi (pengampunan dari Presiden) bagi terpidana telah ditolak oleh Presiden.

Tahapan Upaya Hukum yang Wajib Dilalui:

  • Upaya Hukum Biasa: Banding dan Kasasi (sampai putusan inkracht).
  • Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
  • Hak Konstitusional: Permohonan Grasi kepada Presiden (wajib ditempuh sebelum eksekusi).

Mekanisme Perubahan Pidana Mati (Konversi Sanksi)

Inti dari reformasi pidana mati dalam KUHP Baru adalah potensi konversi sanksi, yaitu perubahan dari pidana mati menjadi pidana yang lebih ringan (penjara seumur hidup). Mekanisme ini bergantung pada perilaku terpidana selama masa percobaan 10 tahun.

Skenario 1: Hukuman Mati Diubah Menjadi Seumur Hidup

Jika terpidana selama masa percobaan 10 tahun:

  • Menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
  • Ada harapan untuk diperbaiki.

Maka, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung (Pasal 100 ayat (4) KUHP Baru).

Skenario 2: Hukuman Mati Tetap Dilaksanakan

Jika terpidana selama masa percobaan 10 tahun:

  • Tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
  • Tidak ada harapan untuk diperbaiki.

Maka, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung (Pasal 100 ayat (6) KUHP Baru).

Skenario 3: Pelaksanaan Tertunda (Pasal 101 KUHP Baru)

Jika permohonan grasi terpidana ditolak, dan pidana mati tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun (bukan karena terpidana melarikan diri), pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah death row phenomenon (situasi terpidana menunggu eksekusi terlalu lama).

Baca Juga: “Klinik Hukum Pelajar”: Model Bimbingan Hukum Praktis Hasil Kerjasama STIH Rahmaniyah


Syarat Khusus Pelaksanaan Eksekusi (Ketentuan Teknis)

Selain syarat hukum material, pelaksanaan eksekusi juga terikat pada ketentuan teknis yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 12 Tahun 2010.

1. Persiapan Akhir dan Tempat Eksekusi

  • Metode Eksekusi: Di Indonesia, eksekusi dilakukan dengan cara ditembak mati oleh regu tembak dari Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.
  • Tempat Eksekusi: Pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum (Pasal 99 ayat (2) KUHP Baru) dan dilakukan di lokasi terpencil yang telah ditentukan oleh Jaksa Eksekutor.

2. Perlindungan HAM Khusus

Meskipun pidana mati dianggap melanggar hak hidup oleh kelompok pro-HAM, hukum positif Indonesia tetap memberikan batasan perlindungan khusus:

  • Perempuan Hamil: Hukuman mati terhadap perempuan hamil hanya dapat dilaksanakan 40 (empat puluh) hari setelah anaknya dilahirkan.
  • Gangguan Jiwa: Eksekusi tidak dapat dilaksanakan jika terpidana mengalami gangguan jiwa berat.
  • Usia: Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada terpidana yang berusia di bawah 18 tahun saat tindak pidana terjadi.

Semua prosedur teknis ini diawasi ketat oleh Jaksa Eksekutor, dokter, dan rohaniawan untuk memastikan pelaksanaan berjalan sesuai hukum dan menjunjung tinggi martabat terpidana hingga detik terakhir.


Kesimpulan: Hukuman Mati dalam Era Transisi Hukum

Perubahan drastis dalam KUHP Baru menunjukkan politik hukum Indonesia bergerak menuju sistem pidana yang lebih humanis dan restoratif, meskipun hukuman mati masih dipertahankan. Konsep pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun yang diusung AAPI Sumatera Utara sebagai topik kajian utama, memberikan kesempatan kedua bagi terpidana untuk membuktikan penyesalan dan perbaikan diri.

Syarat-syarat yang ketat—mulai dari putusan yang bersifat alternatif, masa percobaan 10 tahun, hingga penolakan grasi—menegaskan bahwa pelaksanaan pidana hukuman mati merupakan Keputusan Paling Akhir yang didasarkan pada pertimbangan hati-hati, bukan sekadar balasan dendam (retribution). Bagi para praktisi hukum dan mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Rahmaniyah, ini adalah tantangan untuk menafsirkan dan menerapkan norma hukum baru ini secara adil dan tepat.

admin
https://stihurahmaniyah.ac.id