Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu aspek mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan modern, terutama dalam sistem desentralisasi seperti yang dianut Indonesia. Kewenangan tersebut menentukan bagaimana pelayanan publik diberikan, bagaimana sumber daya dikelola, dan bagaimana kebijakan dilaksanakan secara efektif sesuai kebutuhan masyarakat. Namun, topik ini tidak hanya penting untuk ilmu hukum tata negara, tetapi juga menjadi materi strategis untuk pembelajaran di lingkungan akademik hukum—khususnya ketika disampaikan melalui pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa memahami konsep tidak secara teoritis saja, tetapi juga melalui pengaitan langsung dengan realitas sosial, hukum, dan politik yang terjadi di lapangan.

Artikel ini mengulas secara komprehensif pembagian kewenangan pusat–daerah di Indonesia dari perspektif kritis, sembari menunjukkan bagaimana pendekatan pembelajaran kontekstual dapat membantu mahasiswa hukum memahami isu ini secara lebih mendalam, analitis, dan aplikatif.
1. Landasan Konstitusional Pembagian Kewenangan
Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah berpijak pada prinsip dasar desentralisasi yang tercantum dalam UUD 1945, terutama Pasal 18 tentang pemerintahan daerah. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Amandemen UUD juga memberikan ruang bagi daerah untuk memiliki Peraturan Daerah (Perda), kepala daerah yang dipilih secara demokratis, serta kewenangan dalam mengelola anggaran melalui APBD.
Namun, pembagian kewenangan ini tidak bersifat absolut. Ada urusan tertentu yang harus tetap dipegang oleh pemerintah pusat, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, agama, dan fiskal nasional. Sementara itu, daerah diberi ruang untuk mengatur sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan pengelolaan lingkungan.
Di sinilah muncul dinamika: di satu sisi daerah membutuhkan fleksibilitas, sementara di sisi lain negara harus menjaga kesatuan nasional. Ketegangan antara kebutuhan otonomi dan kepentingan nasional menjadi ruang analisis yang sangat relevan bagi mahasiswa hukum melalui pendekatan kontekstual.
Baca Juga: Pembelajaran Interaktif Hukum Bisnis: Studi Perbandingan Kontrak Nasional dan Internasional
2. Problematika Pembagian Kewenangan: Antara Desentralisasi dan Sentralisasi
Walaupun kerangka hukum pembagian kewenangan sudah jelas, implementasinya kerap menghadapi tantangan. Pendekatan kritis menunjukkan setidaknya empat isu penting:
a. Tumpang Tindih Regulasi
Satu masalah klasik adalah disharmoni antara kebijakan pusat dan daerah. Banyak Perda dibatalkan karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pusat. Hal ini menunjukkan masih lemahnya koordinasi antara kedua pihak, yang berdampak pada kualitas pelayanan publik.
b. Kapasitas Daerah yang Tidak Merata
Tidak semua daerah memiliki kemampuan sumber daya manusia dan anggaran yang sama. Daerah maju dapat mengelola kewenangan dengan baik, sedangkan daerah tertinggal sering mengalami stagnasi. Akibatnya, desentralisasi justru memperlebar kesenjangan.
c. Ketergantungan Fiskal
Walaupun otonomi diberikan, mayoritas daerah masih bergantung pada dana transfer pusat seperti DAU dan DAK. Dalam analisis hukum tata negara, ketergantungan fiskal ini mengurangi ruang kemandirian daerah dalam menjalankan kewenangannya.
d. Intervensi Berlebihan Pemerintah Pusat
Dalam beberapa periode, penguatan kembali peran pusat dianggap sebagai langkah untuk menjaga stabilitas nasional. Namun, jika tidak hati-hati, sentralisasi ulang dapat melemahkan semangat otonomi daerah yang telah dibangun sejak reformasi.
Menganalisis masalah ini melalui pendekatan pembelajaran kontekstual membuat mahasiswa tidak hanya memahami isi undang-undang, tapi juga menelaah dampaknya dalam kehidupan nyata dan dinamika pemerintahan modern.
3. Pembelajaran Kontekstual (CTL) sebagai Metode Analisis
Dalam pendidikan hukum, pembahasan mengenai kewenangan pusat dan daerah sering kali berhenti pada tataran teori. Padahal, untuk memahami desentralisasi, mahasiswa perlu melihat langsung konteks sosial dan praktik pemerintahan.
Pendekatan CTL menekankan tujuh komponen utama: konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Dengan menerapkan CTL, pembelajaran kewenangan pusat–daerah dapat menjadi lebih konkret dan aplikatif.
a. Konstruktivisme
Mahasiswa diajak untuk membangun pemahaman berdasarkan realitas yang mereka lihat, misalnya perbedaan pelayanan publik antara daerah maju dan tertinggal.
b. Inkuiri
Dosen dapat meminta mahasiswa meneliti kasus tertentu, seperti pembatalan Perda oleh Mendagri, konflik kewenangan pertambangan, atau polemik pengelolaan pendidikan di daerah.
c. Bertanya
Diskusi kelas menjadi sarana untuk mengeksplorasi perbedaan pandangan mengenai model desentralisasi yang ideal.
d. Masyarakat Belajar
Kerja kelompok dapat mendorong mahasiswa saling bertukar perspektif dan menemukan solusi atas konflik pusat–daerah.
e. Pemodelan
Dosen dapat mensimulasikan proses pembuatan kebijakan di daerah, sehingga mahasiswa merasakan dinamika pengelolaan kewenangan.
f. Refleksi
Mahasiswa diminta menilai apakah pembagian kewenangan yang ada sudah tepat dan bagaimana seharusnya diperbaiki.
g. Penilaian Autentik
Evaluasi dilakukan melalui tugas berbasis masalah nyata, seperti studi kasus daerah tertentu atau analisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait desentralisasi.
Dengan demikian, CTL membuat pembahasan pembagian kewenangan lebih hidup dan relevan dengan kebutuhan akademik maupun praktik hukum.
4. Studi Kasus: Konflik Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Salah satu contoh menarik untuk dianalisis secara kontekstual adalah konflik kewenangan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan tambang dan kehutanan. Undang-Undang Minerba terbaru mengembalikan banyak kewenangan ke pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan kritik bahwa daerah kehilangan kontrol atas sumber daya alam di wilayahnya.
Melalui pembelajaran kontekstual, mahasiswa dapat:
- Membandingkan UU Minerba lama dan baru
- Menganalisis alasan pemerintah pusat mengambil alih kewenangan
- Menilai dampaknya terhadap PAD daerah
- Mengkaji putusan MK terkait sengketa kewenangan
Dengan pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya memahami aturan, tetapi juga implikasi politik, ekonomi, dan sosialnya.
5. Tantangan Masa Depan Desentralisasi di Indonesia
Dari perspektif hukum dan kebijakan publik, ada beberapa tantangan strategis dalam pembagian kewenangan ke depan:
a. Menjaga Keseimbangan antara Otonomi dan Stabilitas Nasional
Indonesia memiliki keragaman yang sangat luas. Kelebihan otonomi dapat memicu fragmentasi, tetapi sentralisasi berlebih dapat melemahkan demokrasi lokal.
b. Harmonisasi Regulasi
Perlunya mekanisme yang lebih efektif untuk memastikan Perda sejalan dengan kebijakan nasional tanpa mengabaikan kebutuhan lokal.
c. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah
Tanpa SDM yang kompeten, otonomi daerah hanya menjadi formalitas. Penguatan kapasitas adalah agenda jangka panjang.
d. Reformasi Keuangan Daerah
Daerah harus diberi ruang lebih besar untuk menggali sumber pendapatan sah tanpa membebani masyarakat.
e. Transparansi dan Akuntabilitas
Desentralisasi juga membuka peluang korupsi jika tidak diawasi. Sistem pengawasan harus adaptif dan kuat.
6. Peran Pendidikan Tinggi Hukum dalam Membangun Pemahaman Kritis
Institusi seperti Sekolah Tinggi Ilmu Hukum memiliki peran strategis dalam menyiapkan mahasiswa yang mampu menilai dinamika pembagian kewenangan dengan perspektif kritis. CTL menjadi metode paling relevan karena:
- Menghubungkan teori dengan peristiwa aktual
- Mendorong mahasiswa berpikir analitis
- Menyediakan pengalaman belajar berbasis masalah nyata
- Menyiapkan mahasiswa untuk bekerja dalam lingkungan pemerintahan, advokasi publik, atau penelitian kebijakan
Dosen dapat mengembangkan bahan ajar seperti:
- Case study Perda yang dibatalkan
- Simulasi sidang Mahkamah Konstitusi
- Diskusi kebijakan nasional vs. kebutuhan daerah
- Proyek penelitian lapangan mengenai kinerja pelayanan publik
Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya menguasai teori hukum tata negara, tetapi juga memahami bagaimana kewenangan digunakan dalam praktik.
Kesimpulan
Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah landasan penting dalam sistem pemerintahan Indonesia. Meskipun kerangka hukum sudah ditetapkan dengan jelas, praktiknya menghadapi berbagai tantangan seperti tumpang tindih regulasi, ketergantungan fiskal, serta kapasitas daerah yang tidak merata. Analisis kritis diperlukan untuk memahami dinamika tersebut dan mencari model keseimbangan yang ideal.
Pembelajaran kontekstual menawarkan pendekatan yang sangat efektif dalam memahami isu ini. Dengan menghubungkan teori dengan permasalahan nyata, mahasiswa hukum dapat mengembangkan kompetensi analitis, kritis, dan aplikatif yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi kompleksitas tata kelola pemerintahan modern.
Melalui pendekatan pendidikan yang tepat, generasi akademisi dan praktisi hukum di masa depan dapat berkontribusi dalam penguatan sistem desentralisasi yang adil, efektif, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.